BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Acuan dan Perancah 1. Pengertian Acuan dan Perancah Acuan beton adalah suatu struktur yang berfungsi sementara yang digunakan untuk memikul beton segar yang akan dicetak sesuai dengan kebutuhan sampai beton tersebut dapat memikul beratnya sendiri beserta beban di atasnya tanpa suatu keraguan. Dalam hal ini yang dimaksud acuan adalah tempat atau wadah yang berhubungan langsung dengan bentuk beton itu sendiri. Perancah adalah struktur penunjang untuk keberhasilan pekerjaan acuan atau sebagai struktur vertikal yang berfungsi sebagai penyangga yang bertugas meneruskan seluruh gaya-gaya dan beban dari atas ke bawah (T. Akhmad, 1996: 1). 2 Sasaran dari Acuan dan Perancah Oleh karena pekerjaan acuan dan perancah ini sangat penting dalam keberhasilan pekerjaan beton, maka harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Baik Kualitasnya Dirancang dan dibangun secara cermat sedemikian rupa, sehingga posisi, ukuran, dan bentuk jadinya dari beton yang dicetak sesuai dengan yang dirancang. Dalam pelaksanaan sering terjadi pengabaian akan adanya lubang-lubang dan kotoran bekas gergajian pada acuan, yang nantinya dapat berakibat mutu beton/kualitas beton tidak sesuai yang diharapkan. b. Keamanan Terjamin Dibangun dengan kokoh, kaku, dan kuat sehingga mampu menopang seluruh beban mati dan beban hidup tanpa terjadi deformasi yang berarti atau deformasi yang melebihi dari yang diizinkan sehingga membahayakan bagi pekerja dan struktur betonnya sendiri. c. Ekonomis Dibangun secara efisien, hemat waktu, dan hemat biaya sehingga menguntungkan bagi pelaksana. Dalam usaha-usaha optimasi pembiayaan, cara penghematan tidak dapat dilakukan dengan cara yang sembarangan saja tanpa dilandasi dengan pengertian sasarannya. Seringkali usaha penghematan pekerjaan acuan dilaksanakan tanpa didasarkan pada status program karena dianggap bahwa pekerjaan acuan beton hanya pekerjaan pelengkap yang bersifat sementara. Dalam mengoptimasikan pembiayaan, melibatkan beberapa faktor biaya meliputi: 1) harga bahan/material acuan; 2) upah kerja untuk pembuatan, pemasangan, dan pembongkaran acuan; 3) biaya peralatan yang digunakan; 4) kemungkinan penggunaan ulang dari acuan tersebut; 5) biaya perbaikan beton yang harus dilakukan dikarenakan penggunaan acuan tertentu. Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, mungkin sudah saatnya untuk mempertimbangkan pemakaian alternatif bahan selain kayu yang pada saat ini semakin langka. Tentu saja pertimbangan tersebut harus didasarkan pada analisis ekonomi yang mendasar (T. Akhmad, 1996: 1). d. Permukaan Rata dan Rapi Permukaan bagian dalam pada cetakan harus rata agar setelah beton mengeras permukaan beton tersebut tampak rapi dan rata (T. Akhmad, 1996: 3). Pekerjaan bekisting hendaknya dilaksanakan secara cermat sehingga ukuran, elevasi, as, bentuk, maupun hasil akhirnya sesuai dengan yang diinginkan. Penyetelan memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan tempat kedudukan struktur beton, penyimpangan-penyimpangan dalam penyetelan merupakan penyimpangan kedudukan struktur (S. Trimanta, 1996: 12). Pada umumnya, pekerjaan bekisting umumnya dinilai apakah baik atau tidak tercermin setelah dibongkar, sebab setelah dibongkar akan kelihatan hasil akhir dari bentuk dan keadaan permukaan beton yang telah dicetak. Permukaan cetakan yang kasar dan sambungan yang tidak rapat kemungkinan akan menghasilkan permukaan beton yang kasar pula (S. Trimanta, 1996: 12). 3. Fungsi Acuan dan Perancah Sesuai dengan sifat pekerjaannya, bekisting merupakan pekerjaan sementara, maka pekerjaan bekisting harus dibuat sesederhana mungkin, artinya pekerjaan bekisting dapat dengan mudah dibongkar tanpa menimbulkan kerusakan pada beton itu sendiri atau risiko kerusakan ditekan menjadi sekecil mungkin dimana nantinya dapat menimbulkan kerusakan awal. Di samping itu, setelah bekisting dilepas diharapkan menghasilkan ukuran dan bentuk serta elevasi yang diinginkan (S. Trimanta, 1996: 2). Walaupun bekisting merupakan sebuah konstruksi sementara, namun mempunyai fungsi : a. memberikan bentuk pada konstruksi beton; b. untuk mendapatkan permukaan struktur yang diharapkan; c. menopang beton sebelum sampai dengan konstruksi cukup keras dan mampu memikul berat sendiri maupun beban luar; d. mencegah hilangnya air semen (air pencampur) pada saat pengecoran; e. sebagai isolasi panas pada beton. (S. Trimanta, 1996: 2). 4. Bahan-Bahan Acuan dan Perancah a. Kayu Pada umumnya, bahan kayu selalu digunakan pada pekerjaan bekisting baik dalam jumlah besar maupun hanya sebagian kecil. Ini juga tidak terbatas pada bekisting sederhana, tetapi juga pada bekisting yang modern (S. Trimanta, 1996: 18). Penggunaan bahan kayu sebagai bekisting mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah: 1) mempunyai kekuatan yang cukup besar dengan volume dan berat sendiri yang relatif kecil; 2) harga relatif murah dan mudah didapat di pasaran; 3) mudah dikerjakan dengan sistem sambungan serta alat sambung yang sederhana; 4) sebagai isolasi panas yang baik; 5) dapat menerima gaya tumbukan dan getaran-getaran serta dapat dikerjakan dengan teknologi yang sederhana. Kerugiannya adalah: 1) mempunyai sifat yang tidak sama dalam segala arah (anisotrop); 2) mempunyai penyebaran serat yang tidak merata; 3) mempunyai sifat mengembang dan menyusut yang cukup besar; 4) tidak tahan terhadap retak dan geseran; 5) presentase kerusakan terlalu besar jika digunakan berulang-ulang; 6) mempunyai ukuran yang terbatas banyak sambungan; 7) jika terendam air, maka kekuatan akan berkurang; 8) kadang-kadang karena pengaruh kayu akan memberikan warna kecoklat-coklatan pada permukaan beton (S. Trimanta, 1996: 18-19). b. Baja Dalam teknik bekisting, material baja digunakan dalam berbagai bentuk dan kualitas. Sudah lama kita mengenalnya dipakai dalam alat-alat penghubung, tetapi juga selaku material pembantu atau komponen pembantu pada bekisting tradisional hingga sepenuhnya selaku konstruksi penyangga dan konstruksi bekisting. Dibanding material lain yang biasa digunakan, hal-hal menguntungkan berikut ini dapat kita peroleh dari baja: 1) kekuatan yang tinggi; 2) kekuatan yang tinggi (modulus kekenyalannya besar); 3) susunannya homogen dan isotrop; 4) kekerasannya yang tinggi dan tahan terhadap keausan; 5) dapat diperoleh dalam berbagai bentuk, baja sangat sesuai bagi pembuatan sambungan-sambungan dan untuk digabung dengan material-material lain; 6) dapat diperoleh digabung dengan logam campuran, untuk memperbaiki sifat-sifat meterial tertentu; 7) tahan terhadap lingkungan dasar dari spesi beton, dengan suatu nilai PH antara 10-12; 8) apabila tidak lagi memenuhi tujuan yang diharapkan dari padanya, ia memiliki nilai sisa selaku besi tua. Dibawah ini menyusul beberapa hal yang tidak menguntungkan: 1) berat massa yang tinggi (sekitar 7850 kg/m3); 2) pembentukan karat; 3) hantaran termis yang besar; 4) pada umumnya pembuatan dan penyusunannya harus dilaksanakan dalam sebuah tempat kerja yang khusus disiapkan untuk itu (F. Wigbout Ing, 1992: 34) . c. Aluminium Karena adanya hal-hal tertentu dalam aluminium yang lebih menguntungkan dibanding dalam baja, material aluminium dapat lebih sesuai untuk bekisting. Antara lain hal-hal yang menguntungkan ini kita golongkan beratnya yang lebih ringan dan lebih sedikitnya pemeliharaan dibanding pada baja. Akan tetapi harganya yang lebih tinggi telah membuat penggunaannya pada obyek-obyek yang harus diberi sebuah bekisting yang ringan dan/atau pengulangannya dapat dimanfaatkan secara optimal (F. Wigbout Ing, 1992: 38-39). 5. Bahan-Bahan Pelepas Bekisting Bahan-bahan pelepas bekisting kita tempatkan menjelang pengecoran beton pada permukaan kontak dari bekisting. Tujuan utamanya adalah untuk menghindarkan melekatnya beton pada bekisting sehingga pelepasan bekisting dapat dilaksanakan dengan mudah. Selain mempermudah pelepasan, dari bahan pelepas hanya dapat kita harapkan sedikit perlindungan atau pengawetan terhadap bekisting (F. Wigbout Ing, 1992 :101). Bahan-bahan pelepas bekisting dapat kita bagi sebagai berikut: a. tipe 1: minyak-minyak mineral tanpa zat-zat aktif permukaan tepat untuk kerja beton yang tidak banyak dikenakan tuntunan-tuntunan. Minyak-minyak tersebut dapat meningkatkan pemunculan gelembung-gelembung udara, namun memberikan sebuah warna yang merata dengan hanya diganggu sedikit bentukan noda. b. tipe 2: minyak-minyak mineral dengan zat-zat aktif permukaan zat-zat aktif permukaan (emulgator atau wetting agents) dapat memperbaiki penyatuan bahan pelepasan pada bekisting dan akan terbentuk pada permukaan kontak dengan spesi beton sebuah selaput dari emulsi air-dalam-minyak yang dapat berpengaruh baik sehubungan dengan pengurangan gelembung-gelembung udara (F. Wigbout Ing, 1992: 101). c. tipe 3: emulsi air-dalam-minyak dalam emulsi-emulsi ini, minyak merupakan fase yang berlanjut dan minyak dipertahankan dalam keadaan terurai dengan bantuan sebuah emulgator (F. Wigbout Ing, 1992: 102). d. tipe 6: emulsi minyak-dalam-air pada emulsi-emulsi ini, air merupakan fase yang berlanjut dan minyak dipertahankan dalam keadaan terurai dengan bantuan sebuah emulgator. Emulsi-emulsi ini disiapkan di tempat dengan jalan menambahkan minyak pada air dan kemudian akan nampak mirip air susu. Emulsi-emulsi ini dapat mengurangi terjadinya gelembung-gelembung udara, namun oleh pembagian emulgator secara tidak merata dapat menimbulkan perbedaan warna (F. Wigbout Ing, 1992: 102). e. tipe 5: produk-produk lainnya, termasuk di dalamnya: 1) macam-macam lilin, pada umumnya terdiri dari parafin pilihan dalam suatu zat pelarut yang mudah menguap; 2) macam-macam cat dan lak yang berdasarkan minyak atau damar buatan, hanya kita gunakan untuk tujuan-tujuan khusus. (F. Wigbout Ing, 1992 :101-102). B. Tulangan 1. Macam/Tipe Baja Tulangan Penempatan rebar atau baja tulangan di dalam suatu penampang beton terutama untuk menahan gaya tarik yang bekerja pada penampang tersebut.. Ada dua jenis baja tulangan, yaitu tulangan polos (plain bar) dan tulangan ulir (deformed bar). Sebagian besar baja tulangan yang ada di Indonesia adalah produksi Krakatau Steel, yang umumnya berupa tulangan polos untuk baja lunak, dan tulangan ulir untuk baja keras (L. Wahyudi, 1997: 31-32). a. Tulangan Ulir (Deform) Berdasarkan SNI, digunakan simbol D untuk menyatakan diameter tulangan ulir. Sebagai contoh, D-10 dan D-19 menunjukkan tulangan ulir berdiameter 10 mm dan 19 mm. Tulangan ini tersedia mulai dari diameter 10 mm hingga 32 mm, meskipun ada juga yang lebih besar, tetapi umumnya diperoleh melalui pesanan khusus (L. Wahyudi, 1997: 33). Bedasarkan ketentuan SNI T-15-1991-03 pasal 3.5, baja tulangan ulir lebih diutamakan pemakaiannya untuk batang tulangan beton struktur. Salah satu tujuan dari ketentuan ini adalah agar struktur beton bertulang tersebut memiliki keandalan terhadap efek gempa, Karena antara lain terdapat lekatan yang lebih baik antara beton dengan tulangannya. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh baja tulangan ulir, antara lain: 1) mutu dan cara uji harus sesuai dengan SII-0136-86 atau ekivalen JIS G.3112; 2) baja tulangan ulir mempunyai kuat leleh lebih besar dari 400 KN/cm2 boleh dipakai asalkan fy adalah tegangan yang memberikan regangan 0,30 %; 3) baja tulangan beton yang dianyam harus memilih ASTM A184 Spesification for Fabricated Deform Steel Bar Mats for Concrete Reinforcement. Tabel II.1 Dimensi nominal tulangan ulir Diameter (mm) Berat (kg/m) Keliling (cm) Luas Penampang (cm2) 10 0,67 3,14 0,785 13 1,04 4,08 1,33 16 1,58 5,02 2,01 19 2,23 5,96 2,84 22 2,98 6,91 3,80 25 3,85 7,85 4,91 32 6,31 10,05 8,04 36 7,99 11,30 10,20 40 9,87 12,56 12,60 (L. Wahyudi, 1997: 33). b. Tulangan Polos Baja tulangan ini tersedia dalam beberapa macam diameter, tetapi karena ketentuan SNI hanya memperkenankan pemakaiannya untuk sengkang dan tulangan spiral, pemakiannya terbatas. Saat ini, tulangan polos yang mudah dijumpai adalah hingga berdiameter 16 mm, dengan panjang standar 12 meter. Tabel II.2 Dimensi efektif tulangan polos Diameter (mm) Berat (kg/m) Keliling (cm) Luas penmpang (cm2) 6 0,222 1,88 0,283 8 0,395 2,51 0,503 10 0,617 3,14 0,785 12 0,888 3,77 1,13 16 1,58 5,02 2,01 (L. Wahyudi, 1997: 32-33). Gambar II.1 Jenis-jenis baja tulangan 2. Pelindung Beton Untuk Tulangan Untuk melindungi tulangan terhadap bahaya kebakaran dan korosi di sebelah luar tulangan harus diberi tebal minimum beton penutup/selimut beton. Tebal selimut beton bervariasi tergantung pada tipe konstruksi dan kondisi lingkungan. Berdasarkan pasal 3.16.7 SNI, tebal selimut beton bertulang yang tidak langsung berhubungan dengan cuaca atau tanah adalah tidak boleh lebih kecil dari 20 mm untuk pelat, dinding, dan pelat berusuk yang menggunakan diameter tulangan lebih kecil dari D-36, serta 40 mm untuk balok dan kolom. Jika beton tersebut berhubungan langsung dengan tanah, tebal selimut minimum adalah 40-50 mm, tergantung dari diameter tulangannya, tetapi jika beton tersebut dicor langsung di tanah tanpa adanya lapisan dasar atau lantai kerja, tebal selimut beton minimum 70 mm (L. Wahyudi, 1997: 36). Pada umumnya, untuk mendapatkan jarak bersih 40 mm, sumbu tulangan utama dari balok harus ditempatkan pada jarak 70 hingga 75 mm dari serat atas atau bawah balok tersebut. Sedangkan pada pelat biasanya cukup dengan jarak 25 mm untuk mendapatkan tebal selimut minimum 20 mm (L. Wahyudi, 1997: 36). C. Beton 1. Pengertian Istilah beton merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi setiap orang dimana digunakan untuk menyatakan campuran antara semen, air, pasir, dan kerikil yang mengeras menyerupai batu. Air dan semen membentuk pasta yang akan mengisi rongga-rongga di antara butir-butir pasir dan kerikil (L. Wahyudi, 1997: 20). Beton biasa mempunyai kekuatan tarik yang rendah dibandingkan dengan kekuatan tekannya, sehingga untuk pelaksanaan struktural biasanya dipasang tulangan tarik dari baja untuk menahan gaya tarik. Beton demikian disebut beton bertulang. Jenis beton lain disebut beton pra-tekan dimana terlebih dahulu diberi gaya tekan pada betonnya untuk mengimbangi gaya tarik yang bekerja kemudian (Teknologi Bahan 3, 1983: 5). 2. Klasifikasi beton Beton dapat disebut batu buatan yang terdiri dari agregat yang diikat menjadi satu oleh pasta semen, yaitu campuran semen dengan air yang setelah beberapa lama menjadi keras, jika perlu dipakai bahan pembantu. Bilamana butiran-butiran agregat tidak melebihi 4 mm, maka campuran itu disebut mortar. Selama beton masih dapat dikerjakan, beton itu dianggap masih segar. Beton yang baru saja dituangkan dan segera setelah itu dipadatkan dinamakan beton hijau, sedangkan bila dalam masa mencapai kekerasannya yaitu sampai 12 jam setelah selesai pengecoran, dinamakan beton muda. Setelah itu beton lambat laun menjadi keras dan akhirnya mencapai kekerasannya yang disyaratkan. Berdasarkan berat jenis, beton dibedakan menjadi: a. beton ringan; b. beton biasa atau beton saja; c. beton berat. Di bawah ini diberikan beberapa pembatasan mengenai jenis-jenis beton tersebut di atas: Tabel II.3 Pembagian beton berdasarkan berat jenis No. Jenis Beton Berat Jenis kg/dm atau t/m Beberapa Jenis Agregat Yang Digunakan 1. Beton ringan Sampai 2,0 - Batu tulis yang mengembang atau membengkak; - Lempung yang membengkak; - Terak pecah, batu apung. 2. Beton (biasa) 2,0-2,9 - Pasir, kerikil, terak dapur tinggi, serpih-serpih batu. 3. Beton berat Lebih besar dari 2,8 - Spar dari janis berat bijih besi, besi skra. (Teknologi Bahan 3, 1983: 6-7). 3. Kelas-Kelas Beton a. Beton Kelas I Beton kelas I adalah beton untuk pekerjaan-pekerjaan non-struktural. Untuk pelaksanaannya tidak diperlukan keahlian khusus. Pengawasan mutu hanya dibatasi pada pengawasan ringan terhadap mutu bahan-bahan, sedangkan terhadap kekuatan tekan tidak disyaratkan pemeriksaan. Mutu beton kelas I dinyatakan dengan Bo. b. Beton Kelas II Beton kelas II adalah beton untuk pekerjaan struktural secara umum. Pelaksanaannya memerlukan keahlian yang cukup dan harus dilakukan di bawah pimpinan tenaga-tenaga ahli. Beton kelas II dibagi dalam mutu-mutu standar: B1, K125, K175, dan K225. Pada mutu B1¬, pengawasan mutu hanya dibatasi pada pengawasan sedang terhadap mutu bahan-bahan, Sedangkan terhadap kekuatan tekan tidak disyaratkan pemeriksaan. Pada mutu K125, K175, dan K225 pengawasan mutu terdiri dari pengawsan yang ketat terhadap mutu bahan-bahan dengan keharusan untuk memeriksa kekuatan tekan beton secara continue. c. Beton Kelas III Beton kelas III adalah beton untuk pekerjaan-pekerjaan struktural dimana dipakai mutu beton dengan kekuatan tekan karakteristik yang lebih tinggi dari 225 kg/cm2. Pelaksanaannya memerlukan keahlian khusus dan harus dilakukan di bawah pimpinan tenaga-tenaga ahli. Disyaratkan adanya laboratorium beton dengan peralatan yang lengkap yang dilayani oleh tenaga-tenaga ahli yang dapat melakukan pengawasan mutu beton secara continue. Mutu beton kelas III dinyatakan dengan huruf K dengan angka di belakangnya yang menyatakan karakteristik beton yang bersangkutan (Teknologi Bahan 3, 1983: 8). Sesuai dengan tingkat mutu beton yang hendak dicapai, perbandingan campuran bahan susun harus ditentukan agar beton yang dihasilkan memberikan: 1) kelecakan dan konsistensi yang memungkinkan pengerjaan beton (penuangan, perataan, pemadatan) dengan mudah ke dalam acuan dan sekitar tulangan baja tanpa menimbulkan kemungkinan terjadinya segregasi atau pemisahan agregat dan bleeding air; 2) ketahanan terhadap kondisi lingkungan khusus (kedap air, korosif, dan lain-lain); 3) memenuhi uji kuat yang hendak dicapai (I. Dipohusodo, 1996: 6). 4. Sifat Pengerjaan Beton Sifat pengerjaan beton belum didefiinisikan secara tepat. Untuk tujuan-tujuan praktik, pengertiannya memudahkan kita dalam mengolah beton sejak masih berada dalam pengadukan beton sampai selesai dipadatkan. Tiga karakteristik utama dari sifat pengerjaan beton adalah: kekentalannya, kemudahan mengalirnya (bergeraknya), dan kemudahan dipadatkannya. Kekentalan atau konsistensi beton merupakan suatu ukuran untuk menunjukkan keadaan basah atau cairnya beton yang bersangkutan. Kemudahan bergerak atau mobilitas menyatakan mudah atau sukarnya campuran beton mengalir ke dalam acuan atau cetakan serta mengisinya sampai penuh. Kemudahan dipadatkan atau compactibility menunjukkan mudah atau sukarnya suatu campuran beton itu dipadatkan seluruhnya sehingga udara yang tersekap di dalamnya dapat dikeluarkan. Sehubungan dengan itu, maka sifat pengerjaan yang disyaratkan bagi suatu campuran beton tidak saja tergantung pada karakteristik dan perbandingan-perbandingan bahan-bahan campurannya, akan tetapi juga pada: a. cara-cara pengangkutan dan pemadatannya; b. ukuran, bentuk serta kekerasan permukaan acuan atau cetakan; c. jumlah serta jarak antara tulangan-tulangan (Teknologi Bahan 3, 1983: 13). 5. Pengecoran Beton Pengecoran beton dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan timbulnya segregasi dari agregat kasar terhadap mortar beton yang cenderung akan bertambah dengan bertambahnya nilai slump serta bertambah besarnya ukuran agregat kasar dalam suatu adonan beton (Teknologi Bahan 3, 1983: 154). Apabila ada kecenderungan yang nyata bahwa butiran-butiran kasar dan halus dari suatu campuran beton hendak memisahkan diri, maka yang dihadapi ialah segregasi. Pada umumnya makin encer suatu campuran beton, maka makin besar kecenderungan untuk terjadi segregasi pada beton yang bersangkutan. Segregasi dipengaruhi oleh luas jenis bahan-bahan padat total termasuk semen dan jumlah mortar yang terdapat dalam adukan (Teknologi Bahan 3, 1983: 22). Segregasi tidak dapat diperbaiki oleh pengerjaan-pengerjaan selanjutnya, sehingga apabila tidak dilakukan pencegahan-pencegahan, besar kemungkinan akan terjadi di tempat-tempat penuangan beton. Bilamana terjadi gumpalan-gumpalan agregat kasar, maka gumpalan-gumpalan tersebut harus disebarkan dan kemudian dibentuk menjadi beton yang homogen. Selanjutnya harus diambil langkah-langkah agar hal-hal yang telah terjadi itu tidak terulang (Teknologi Bahan 3, 1983: 154-155). Dalam semua jenis pekerjaan beton tidak boleh dilakukan pengerjaan-pengerjaan yang menyebabkan mengalirnya beton tersebut dalam arah yang horizontal atau miring dalam acuannya, dan pada siar-siar konstruksi harus dihindarkan terbentuknya lapisan-lapisan beton yang miring (Teknologi Bahan 3, 1983: 155). 6. Perawatan Beton Perawatan merupakan suatu cara yang telah diterima dengan baik untuk melancarkan pengerasan beton dalam keadaan basah dan suhu yang menguntungkan untuk perkembangan serta pengikatan yang tepat dari semen sebagai bahan campurannya (Teknologi Bahan 3, 1983: 174). Proses kimia dari pengerasan berlangsung dengan kecepatan yang makin berkurang untuk jangka waktu yang lama sekali dan tidak ditentukan, selama masih tetap ada air dan suhu menguntungkan. Perawatan yang segera dan kemudian berkembang secara efektif untuk suatu jangka waktu yang dapat dilaksanakan merupakan suatu langkah penting bagi perkembangan yang cukup secara merata dari suatu bahan pengikat (perekat) seperti semen (Teknologi Bahan 3, 1983: 174). Cara-cara perawatan beton terdiri dari salah satu atau beberapa prosedur berikut, yang efektifitasnya dapat diperkirakan dengan melakukan pengujian-pengujian kekuatan, kelembaban relatif atau pengukur-pengukur warna dan kehilangan air oleh beton dalam waktu tertentu. Adapun cara-cara perawatan beton tersebut antara lain: a. mempertahankan acuan tetap melekat pada beton selama paling sedikit 5 hari sambil tetap membasahi acuan kayu; b. memperlambat penguapan dengan menggunakan alkohol aliphatik (umpama cetyl), melindungi terhadap sinar matahari langsung, melindungi terhadap tiupan angin dan menyemprot dengan kabut air; c. mengelilingi pelat beton dengan tanggul yang di dalamnya diisi air seperti sebuah kolam sedalam 50 mm setelah memperlambat penguapan atau perawatan dengan membran dalam cuaca panas untuk waktu tertentu, dan semen itu telah mencapai waktu pengikatan akhir; d. menutupi permukaan beton dengan bahan-bahan yang menahan air sehingga tetap berada dalam keadaan basah, misalnya karung goni bekas, jerami, lapisan pasir, dll; e. merendam produk-produk beton di dalam air, atau menyemprot permukaan beton yang tampak secara teratur dengan air, sehingga tetap berada dalam keadaan basah. Penyemprotan air dilaksanakan pada suhu yang tepat tanpa terjadinya ulangan-ulangan pembasahan dan pengeringan, sehingga tidak akan terjadi retak-retak pada permukaan beton akibat perubahan-perubahan suhu dan dimensi yang berlebih-lebihan (melampaui batas); f. menggunakan membran yang kedap air di atas permukaan beton, seperti lembaran-lembaran plastik dengan sambungan-sambungan yang kedap air atau bertumpang-tindih dan ujung-ujungnya diusahakan selalu tertindih pada permukaan beton yang bersangkutan; g. memulas permukaan beton yang terbuka dengan suatu bahan yang menghasilkan membran (lapisan tipis) dekat pada saat terjadinya pengikatan awal dari semen; h. merawat beton dengan uap atau merawat beton secara hydro-termal atau mengusahakan terjadinya proses hydrasi dalam keadaan adiabatik dalam cetakan-cetakan tertutup agar dicapai pengerasan yang dipercepat; i. mendinginkan beton yang dicor secara masif dengan cara-cara yang dapat menurunkan suhu akibat proses hydrasi yaitu dibawah 32o C (Teknologi Bahan 3, 1983: 175-176). 6. Manfaat Struktur Beton a. Keuntungan: 1) ekonomis. Merupakan pertimbangan yang sangat penting, meliputi: material, kemudahan dalam pelaksanaan, waktu untuk konstruksi, pemeliharaan struktur, daktilitas, dan sebagainya; 2) keserasian beton untuk memenuhi kepentingan struktur dan arsitektur. Beton dicor ketika masih cair dan menahan beban ketika telah mengeras. Hal ini sangat bermanfaat, karena dapat membuat berbagai bentuk; 3) tahan api (sekitar 1 hingga 3 jam tanpa bahan kedap api tambahan). Sementara kayu dan baja memerlukan bahan kedap api khusus untuk mencapai tingkat seperti ini; 4) rigiditas tinggi; 5) biaya pemeliharaan (maintenance) rendah; 6) penyediaan material mudah. b. Kerugian: 1) kekuatan tarik rendah (sekitar 10% dari kekuatan tekan), sehingga mudah retak. Meskipun mungkin tidak terlihat tetapi memungkinkan udara lembab masuk melalui retak itu, dan membuat baja tulangan berkarat; 2) memerlukan biaya untuk bekisting, perancah (untuk beton cor di tempat) yang tidak sedikit jumlahnya; 3) kekuatan per satuan berat atau satuan volume yang relatif rendah. Kekuatan beton berkisar antara 5 hingga 10% kekuatan baja meskipun berat jenis kira-kira 30% dari berat baja. Oleh karena itu, struktur beton membutuhkan berat yang lebih banyak. Alasan inilah yang menjadi dasar mengapa jembatan bentang panjang dibuat dengan struktur baja; 4) sifat yang tergantung waktu rangkak dan susut. ”Struktur beton berintensitas beban rendah akan menghasilkan deformasi dalam daerah elastisitas tetapi lambat laun deformasi ini akan bertambah menurut lamanya pembebanan mekipun kondisi beban tersebut konstan. Gejala ini disebut sebagai rangkak/creep” (L. Wigbout, 1997: 29). ” Pada waktu proses hidrasi berlangsung, beton melepaskan panas dan air, yang dapat diamati dengan naiknya suhu beton tersebut, yang menyebabkan terjadinya susut (shrinkage). Susut dapat menyebabkan retak bila tidak dikendalikan dengan baik” (L. Wigbout, 1997: 29). Beton dan baja memiliki ekspansi panas (thermal expansion) yang hampir sama, yaitu: Beton 5,5 x 10-6 /oF Baja 6 x 10-6 /oF. Beton mengalami rangkak jangka panjang dan susut, hal ini kurang menguntungkan (L. Wahyudi, 1997: 38). 7. Campuran Beton a. Semen Pada umumnya, semen untuk bahan bangunan adalah tipe semen Portland. Semen ini dibuat dengan cara menghaluskan silikat-silikat kalsium yang bersifat hidrolis dan dicampur dengan bahan gips. Beberapa tipe semen yang diproduksi di Indonesia, antara lain: 1) semen Tipe I, dapat dikatakan yang paling banyak dimanfaatkan untuk bangunan, dan tidak memerlukan persyaratan-persyaratan khusus bagaimana jenis lainnya; 2) semen Tipe II merupakan modifikasi semen tipe I dengan maksud untuk meningkatkan ketahanan terhadap sulfat dan menghasilkan panas hidrasi yang lebih rendah. Semen jenis ini terutama dimanfaatkan untuk bangunan yang terletak di daerah dengan tanah berkadar sulfat rendah. 3) semen Tipe III merupakan semen yang cepat mengeras. Beton yang dibuat dengan semen tipe III akan mengeras cukup cepat, dan kekuatan yang dicapainya dalam 24 jam akan sama dengan kekuatan beton dari semen biasa dalam 7 hari. Hanya sekitar 3 hari kekuatan tekannya setara dengan kekuatan tekan 28 hari beton dari semen biasa. 4) semen Tipe V terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap bahaya korosi akibat pengaruh air laut, air danau, air tambang, maupun pengaruh garam sulfat yang terdapat dalam air tanah. Semen tipe V ini memiliki daya resistansi terhadap sulfat yang lebih baik dibandingkan semen tipe II. 5) jenis semen lainnya yaitu semen portland-pozzolan, sering dipakai untuk konstruksi beton masif seperti dam atau bendungan karena menghasilkan panas hidrasi yang rendah, dan karena semen ini juga tahan terhadap sulfat, sering dimanfaatkan pula untuk konstruksi bangunan limbah (L. Wahyudi, 1997: 20-21). b. Agregat Dalam SNI T-15-1991-03 agregat didefenisikan sebagai material granular, misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak tungku besi yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat untuk membentuk beton semen hidrolik atau adukan. Berdasarkan ukurannya, agregat ini dapat dibedakan menjadi: 1) agregat halus diameter 0-5 mm disebut pasir, yang dapat dibedakan lagi menjadi: a) pasir halus: Ø 0-1 mm; b) pasir kasar: Ø 1-5 mm. 2) agregat kasar diameter ≥ 5 mm, biasanya berukuran antara 5 hingga 40 mm, disebut kerikil. Material ini merupakan hasil disintegrasi alami batuan atau hasil dari industri pemecah batu (L. Wahyudi, 1997: 22). Kekuatan beton dipengaruhi oleh kualitas agregat, proporsi campuran, serta kebersihan air dan agregatnya. Oleh karena itu, selain harus memiliki kekuatan dan daya tahan yang baik, butir disyaratkan harus bersih dari lumpur atau meterial organis lainnya yang dapat mengurangi kekuatan beton. Diameter lumpur atau meterial organis ini adalah kurang dari 0,063 mm. Bila banyaknya lumpur atau material organis yang dikandung dalam agregat lebih dari 1% berat kering, agregat tersebut harus dicuci (L. Wahyudi, 1997: 22). c. Air Proporsi air yang sedikit akan memberikan kekuatan yang tinggi pada beton, tetapi kelemasan beton atau daya kerjanya akan berkurang. Sedangkan proporsi air yang agak besar akan memberikan kemudahan pada waktu pelaksanan pengecoran, tetapi kekuatan hancur beton jadi rendah. Proporsi air ini dinyatakan dalam rasio air-semen (water-cement ratio), yaitu angka yang menyatakan perbandingan antara berat air (kg) dibagi dengan berat semen (kg) dalam adukan beton tersebut (L. Wahyudi, 1997: 22). Perlu diketahui bahwa air untuk campuran beton harus tidak mengandung minyak, larutan asam, garam alkali, material organik, maupun bahan-bahan lain yang dapat mengurangi kekuatan beton (lihat PBI-71 Pasal 3.6). Selain faktor tersebut di atas, kepadatan, panas, dan kelembaban juga dapat mempengaruhi kekuatan beton. Untuk itu, sebaiknya menggunakan alat penggetar adukan (vibrator) untuk memperoleh kepadatan beton yang sempurna, terutama untuk beton dengan rasio air-semen yang rendah. Menjaga kelembaban dan panas agar tetap konstan sewaktu proses hidrasi berlangsung, misalnya dengan menutupi permukaan beton dengan karung-karung basah atau menyiramkan air minuman satu kali dalam sehari, merupakan hal yang sangat penting (L. Wahyudi, 1997: 22).
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN A. Acuan dan Perancah 1. Pengertian Acuan dan Perancah Acuan beton adalah suatu struktur yang berfungsi sementara yang digunakan untuk memikul beton segar yang akan dicetak sesuai dengan kebutuhan sampai beton tersebut dapat memikul beratnya sendiri beserta beban di atasnya tanpa suatu keraguan. Dalam hal ini yang dimaksud acuan adalah tempat atau wadah yang berhubungan langsung dengan bentuk beton itu sendiri. Perancah adalah struktur penunjang untuk keberhasilan pekerjaan acuan atau sebagai struktur vertikal yang berfungsi sebagai penyangga yang bertugas meneruskan seluruh gaya-gaya dan beban dari atas ke bawah (T. Akhmad, 1996: 1). 2 Sasaran dari Acuan dan Perancah Oleh karena pekerjaan acuan dan perancah ini sangat penting dalam keberhasilan pekerjaan beton, maka harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Baik Kualitasnya Dirancang dan dibangun secara cermat sedemikian rupa, sehingga posisi, ukuran, dan bentuk jadinya dari beton yang dicetak sesuai dengan yang dirancang. Dalam pelaksanaan sering terjadi pengabaian akan adanya lubang-lubang dan kotoran bekas gergajian pada acuan, yang nantinya dapat berakibat mutu beton/kualitas beton tidak sesuai yang diharapkan. b. Keamanan Terjamin Dibangun dengan kokoh, kaku, dan kuat sehingga mampu menopang seluruh beban mati dan beban hidup tanpa terjadi deformasi yang berarti atau deformasi yang melebihi dari yang diizinkan sehingga membahayakan bagi pekerja dan struktur betonnya sendiri. c. Ekonomis Dibangun secara efisien, hemat waktu, dan hemat biaya sehingga menguntungkan bagi pelaksana. Dalam usaha-usaha optimasi pembiayaan, cara penghematan tidak dapat dilakukan dengan cara yang sembarangan saja tanpa dilandasi dengan pengertian sasarannya. Seringkali usaha penghematan pekerjaan acuan dilaksanakan tanpa didasarkan pada status program karena dianggap bahwa pekerjaan acuan beton hanya pekerjaan pelengkap yang bersifat sementara. Dalam mengoptimasikan pembiayaan, melibatkan beberapa faktor biaya meliputi: 1) harga bahan/material acuan; 2) upah kerja untuk pembuatan, pemasangan, dan pembongkaran acuan; 3) biaya peralatan yang digunakan; 4) kemungkinan penggunaan ulang dari acuan tersebut; 5) biaya perbaikan beton yang harus dilakukan dikarenakan penggunaan acuan tertentu. Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, mungkin sudah saatnya untuk mempertimbangkan pemakaian alternatif bahan selain kayu yang pada saat ini semakin langka. Tentu saja pertimbangan tersebut harus didasarkan pada analisis ekonomi yang mendasar (T. Akhmad, 1996: 1). d. Permukaan Rata dan Rapi Permukaan bagian dalam pada cetakan harus rata agar setelah beton mengeras permukaan beton tersebut tampak rapi dan rata (T. Akhmad, 1996: 3). Pekerjaan bekisting hendaknya dilaksanakan secara cermat sehingga ukuran, elevasi, as, bentuk, maupun hasil akhirnya sesuai dengan yang diinginkan. Penyetelan memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan tempat kedudukan struktur beton, penyimpangan-penyimpangan dalam penyetelan merupakan penyimpangan kedudukan struktur (S. Trimanta, 1996: 12). Pada umumnya, pekerjaan bekisting umumnya dinilai apakah baik atau tidak tercermin setelah dibongkar, sebab setelah dibongkar akan kelihatan hasil akhir dari bentuk dan keadaan permukaan beton yang telah dicetak. Permukaan cetakan yang kasar dan sambungan yang tidak rapat kemungkinan akan menghasilkan permukaan beton yang kasar pula (S. Trimanta, 1996: 12). 3. Fungsi Acuan dan Perancah Sesuai dengan sifat pekerjaannya, bekisting merupakan pekerjaan sementara, maka pekerjaan bekisting harus dibuat sesederhana mungkin, artinya pekerjaan bekisting dapat dengan mudah dibongkar tanpa menimbulkan kerusakan pada beton itu sendiri atau risiko kerusakan ditekan menjadi sekecil mungkin dimana nantinya dapat menimbulkan kerusakan awal. Di samping itu, setelah bekisting dilepas diharapkan menghasilkan ukuran dan bentuk serta elevasi yang diinginkan (S. Trimanta, 1996: 2). Walaupun bekisting merupakan sebuah konstruksi sementara, namun mempunyai fungsi : a. memberikan bentuk pada konstruksi beton; b. untuk mendapatkan permukaan struktur yang diharapkan; c. menopang beton sebelum sampai dengan konstruksi cukup keras dan mampu memikul berat sendiri maupun beban luar; d. mencegah hilangnya air semen (air pencampur) pada saat pengecoran; e. sebagai isolasi panas pada beton. (S. Trimanta, 1996: 2). 4. Bahan-Bahan Acuan dan Perancah a. Kayu Pada umumnya, bahan kayu selalu digunakan pada pekerjaan bekisting baik dalam jumlah besar maupun hanya sebagian kecil. Ini juga tidak terbatas pada bekisting sederhana, tetapi juga pada bekisting yang modern (S. Trimanta, 1996: 18). Penggunaan bahan kayu sebagai bekisting mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah: 1) mempunyai kekuatan yang cukup besar dengan volume dan berat sendiri yang relatif kecil; 2) harga relatif murah dan mudah didapat di pasaran; 3) mudah dikerjakan dengan sistem sambungan serta alat sambung yang sederhana; 4) sebagai isolasi panas yang baik; 5) dapat menerima gaya tumbukan dan getaran-getaran serta dapat dikerjakan dengan teknologi yang sederhana. Kerugiannya adalah: 1) mempunyai sifat yang tidak sama dalam segala arah (anisotrop); 2) mempunyai penyebaran serat yang tidak merata; 3) mempunyai sifat mengembang dan menyusut yang cukup besar; 4) tidak tahan terhadap retak dan geseran; 5) presentase kerusakan terlalu besar jika digunakan berulang-ulang; 6) mempunyai ukuran yang terbatas banyak sambungan; 7) jika terendam air, maka kekuatan akan berkurang; 8) kadang-kadang karena pengaruh kayu akan memberikan warna kecoklat-coklatan pada permukaan beton (S. Trimanta, 1996: 18-19). b. Baja Dalam teknik bekisting, material baja digunakan dalam berbagai bentuk dan kualitas. Sudah lama kita mengenalnya dipakai dalam alat-alat penghubung, tetapi juga selaku material pembantu atau komponen pembantu pada bekisting tradisional hingga sepenuhnya selaku konstruksi penyangga dan konstruksi bekisting. Dibanding material lain yang biasa digunakan, hal-hal menguntungkan berikut ini dapat kita peroleh dari baja: 1) kekuatan yang tinggi; 2) kekuatan yang tinggi (modulus kekenyalannya besar); 3) susunannya homogen dan isotrop; 4) kekerasannya yang tinggi dan tahan terhadap keausan; 5) dapat diperoleh dalam berbagai bentuk, baja sangat sesuai bagi pembuatan sambungan-sambungan dan untuk digabung dengan material-material lain; 6) dapat diperoleh digabung dengan logam campuran, untuk memperbaiki sifat-sifat meterial tertentu; 7) tahan terhadap lingkungan dasar dari spesi beton, dengan suatu nilai PH antara 10-12; 8) apabila tidak lagi memenuhi tujuan yang diharapkan dari padanya, ia memiliki nilai sisa selaku besi tua. Dibawah ini menyusul beberapa hal yang tidak menguntungkan: 1) berat massa yang tinggi (sekitar 7850 kg/m3); 2) pembentukan karat; 3) hantaran termis yang besar; 4) pada umumnya pembuatan dan penyusunannya harus dilaksanakan dalam sebuah tempat kerja yang khusus disiapkan untuk itu (F. Wigbout Ing, 1992: 34) . c. Aluminium Karena adanya hal-hal tertentu dalam aluminium yang lebih menguntungkan dibanding dalam baja, material aluminium dapat lebih sesuai untuk bekisting. Antara lain hal-hal yang menguntungkan ini kita golongkan beratnya yang lebih ringan dan lebih sedikitnya pemeliharaan dibanding pada baja. Akan tetapi harganya yang lebih tinggi telah membuat penggunaannya pada obyek-obyek yang harus diberi sebuah bekisting yang ringan dan/atau pengulangannya dapat dimanfaatkan secara optimal (F. Wigbout Ing, 1992: 38-39). 5. Bahan-Bahan Pelepas Bekisting Bahan-bahan pelepas bekisting kita tempatkan menjelang pengecoran beton pada permukaan kontak dari bekisting. Tujuan utamanya adalah untuk menghindarkan melekatnya beton pada bekisting sehingga pelepasan bekisting dapat dilaksanakan dengan mudah. Selain mempermudah pelepasan, dari bahan pelepas hanya dapat kita harapkan sedikit perlindungan atau pengawetan terhadap bekisting (F. Wigbout Ing, 1992 :101). Bahan-bahan pelepas bekisting dapat kita bagi sebagai berikut: a. tipe 1: minyak-minyak mineral tanpa zat-zat aktif permukaan tepat untuk kerja beton yang tidak banyak dikenakan tuntunan-tuntunan. Minyak-minyak tersebut dapat meningkatkan pemunculan gelembung-gelembung udara, namun memberikan sebuah warna yang merata dengan hanya diganggu sedikit bentukan noda. b. tipe 2: minyak-minyak mineral dengan zat-zat aktif permukaan zat-zat aktif permukaan (emulgator atau wetting agents) dapat memperbaiki penyatuan bahan pelepasan pada bekisting dan akan terbentuk pada permukaan kontak dengan spesi beton sebuah selaput dari emulsi air-dalam-minyak yang dapat berpengaruh baik sehubungan dengan pengurangan gelembung-gelembung udara (F. Wigbout Ing, 1992: 101). c. tipe 3: emulsi air-dalam-minyak dalam emulsi-emulsi ini, minyak merupakan fase yang berlanjut dan minyak dipertahankan dalam keadaan terurai dengan bantuan sebuah emulgator (F. Wigbout Ing, 1992: 102). d. tipe 6: emulsi minyak-dalam-air pada emulsi-emulsi ini, air merupakan fase yang berlanjut dan minyak dipertahankan dalam keadaan terurai dengan bantuan sebuah emulgator. Emulsi-emulsi ini disiapkan di tempat dengan jalan menambahkan minyak pada air dan kemudian akan nampak mirip air susu. Emulsi-emulsi ini dapat mengurangi terjadinya gelembung-gelembung udara, namun oleh pembagian emulgator secara tidak merata dapat menimbulkan perbedaan warna (F. Wigbout Ing, 1992: 102). e. tipe 5: produk-produk lainnya, termasuk di dalamnya: 1) macam-macam lilin, pada umumnya terdiri dari parafin pilihan dalam suatu zat pelarut yang mudah menguap; 2) macam-macam cat dan lak yang berdasarkan minyak atau damar buatan, hanya kita gunakan untuk tujuan-tujuan khusus. (F. Wigbout Ing, 1992 :101-102). B. Tulangan 1. Macam/Tipe Baja Tulangan Penempatan rebar atau baja tulangan di dalam suatu penampang beton terutama untuk menahan gaya tarik yang bekerja pada penampang tersebut.. Ada dua jenis baja tulangan, yaitu tulangan polos (plain bar) dan tulangan ulir (deformed bar). Sebagian besar baja tulangan yang ada di Indonesia adalah produksi Krakatau Steel, yang umumnya berupa tulangan polos untuk baja lunak, dan tulangan ulir untuk baja keras (L. Wahyudi, 1997: 31-32). a. Tulangan Ulir (Deform) Berdasarkan SNI, digunakan simbol D untuk menyatakan diameter tulangan ulir. Sebagai contoh, D-10 dan D-19 menunjukkan tulangan ulir berdiameter 10 mm dan 19 mm. Tulangan ini tersedia mulai dari diameter 10 mm hingga 32 mm, meskipun ada juga yang lebih besar, tetapi umumnya diperoleh melalui pesanan khusus (L. Wahyudi, 1997: 33). Bedasarkan ketentuan SNI T-15-1991-03 pasal 3.5, baja tulangan ulir lebih diutamakan pemakaiannya untuk batang tulangan beton struktur. Salah satu tujuan dari ketentuan ini adalah agar struktur beton bertulang tersebut memiliki keandalan terhadap efek gempa, Karena antara lain terdapat lekatan yang lebih baik antara beton dengan tulangannya. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh baja tulangan ulir, antara lain: 1) mutu dan cara uji harus sesuai dengan SII-0136-86 atau ekivalen JIS G.3112; 2) baja tulangan ulir mempunyai kuat leleh lebih besar dari 400 KN/cm2 boleh dipakai asalkan fy adalah tegangan yang memberikan regangan 0,30 %; 3) baja tulangan beton yang dianyam harus memilih ASTM A184 Spesification for Fabricated Deform Steel Bar Mats for Concrete Reinforcement. Tabel II.1 Dimensi nominal tulangan ulir Diameter (mm) Berat (kg/m) Keliling (cm) Luas Penampang (cm2) 10 0,67 3,14 0,785 13 1,04 4,08 1,33 16 1,58 5,02 2,01 19 2,23 5,96 2,84 22 2,98 6,91 3,80 25 3,85 7,85 4,91 32 6,31 10,05 8,04 36 7,99 11,30 10,20 40 9,87 12,56 12,60 (L. Wahyudi, 1997: 33). b. Tulangan Polos Baja tulangan ini tersedia dalam beberapa macam diameter, tetapi karena ketentuan SNI hanya memperkenankan pemakaiannya untuk sengkang dan tulangan spiral, pemakiannya terbatas. Saat ini, tulangan polos yang mudah dijumpai adalah hingga berdiameter 16 mm, dengan panjang standar 12 meter. Tabel II.2 Dimensi efektif tulangan polos Diameter (mm) Berat (kg/m) Keliling (cm) Luas penmpang (cm2) 6 0,222 1,88 0,283 8 0,395 2,51 0,503 10 0,617 3,14 0,785 12 0,888 3,77 1,13 16 1,58 5,02 2,01 (L. Wahyudi, 1997: 32-33). Gambar II.1 Jenis-jenis baja tulangan 2. Pelindung Beton Untuk Tulangan Untuk melindungi tulangan terhadap bahaya kebakaran dan korosi di sebelah luar tulangan harus diberi tebal minimum beton penutup/selimut beton. Tebal selimut beton bervariasi tergantung pada tipe konstruksi dan kondisi lingkungan. Berdasarkan pasal 3.16.7 SNI, tebal selimut beton bertulang yang tidak langsung berhubungan dengan cuaca atau tanah adalah tidak boleh lebih kecil dari 20 mm untuk pelat, dinding, dan pelat berusuk yang menggunakan diameter tulangan lebih kecil dari D-36, serta 40 mm untuk balok dan kolom. Jika beton tersebut berhubungan langsung dengan tanah, tebal selimut minimum adalah 40-50 mm, tergantung dari diameter tulangannya, tetapi jika beton tersebut dicor langsung di tanah tanpa adanya lapisan dasar atau lantai kerja, tebal selimut beton minimum 70 mm (L. Wahyudi, 1997: 36). Pada umumnya, untuk mendapatkan jarak bersih 40 mm, sumbu tulangan utama dari balok harus ditempatkan pada jarak 70 hingga 75 mm dari serat atas atau bawah balok tersebut. Sedangkan pada pelat biasanya cukup dengan jarak 25 mm untuk mendapatkan tebal selimut minimum 20 mm (L. Wahyudi, 1997: 36). C. Beton 1. Pengertian Istilah beton merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi setiap orang dimana digunakan untuk menyatakan campuran antara semen, air, pasir, dan kerikil yang mengeras menyerupai batu. Air dan semen membentuk pasta yang akan mengisi rongga-rongga di antara butir-butir pasir dan kerikil (L. Wahyudi, 1997: 20). Beton biasa mempunyai kekuatan tarik yang rendah dibandingkan dengan kekuatan tekannya, sehingga untuk pelaksanaan struktural biasanya dipasang tulangan tarik dari baja untuk menahan gaya tarik. Beton demikian disebut beton bertulang. Jenis beton lain disebut beton pra-tekan dimana terlebih dahulu diberi gaya tekan pada betonnya untuk mengimbangi gaya tarik yang bekerja kemudian (Teknologi Bahan 3, 1983: 5). 2. Klasifikasi beton Beton dapat disebut batu buatan yang terdiri dari agregat yang diikat menjadi satu oleh pasta semen, yaitu campuran semen dengan air yang setelah beberapa lama menjadi keras, jika perlu dipakai bahan pembantu. Bilamana butiran-butiran agregat tidak melebihi 4 mm, maka campuran itu disebut mortar. Selama beton masih dapat dikerjakan, beton itu dianggap masih segar. Beton yang baru saja dituangkan dan segera setelah itu dipadatkan dinamakan beton hijau, sedangkan bila dalam masa mencapai kekerasannya yaitu sampai 12 jam setelah selesai pengecoran, dinamakan beton muda. Setelah itu beton lambat laun menjadi keras dan akhirnya mencapai kekerasannya yang disyaratkan. Berdasarkan berat jenis, beton dibedakan menjadi: a. beton ringan; b. beton biasa atau beton saja; c. beton berat. Di bawah ini diberikan beberapa pembatasan mengenai jenis-jenis beton tersebut di atas: Tabel II.3 Pembagian beton berdasarkan berat jenis No. Jenis Beton Berat Jenis kg/dm atau t/m Beberapa Jenis Agregat Yang Digunakan 1. Beton ringan Sampai 2,0 - Batu tulis yang mengembang atau membengkak; - Lempung yang membengkak; - Terak pecah, batu apung. 2. Beton (biasa) 2,0-2,9 - Pasir, kerikil, terak dapur tinggi, serpih-serpih batu. 3. Beton berat Lebih besar dari 2,8 - Spar dari janis berat bijih besi, besi skra. (Teknologi Bahan 3, 1983: 6-7). 3. Kelas-Kelas Beton a. Beton Kelas I Beton kelas I adalah beton untuk pekerjaan-pekerjaan non-struktural. Untuk pelaksanaannya tidak diperlukan keahlian khusus. Pengawasan mutu hanya dibatasi pada pengawasan ringan terhadap mutu bahan-bahan, sedangkan terhadap kekuatan tekan tidak disyaratkan pemeriksaan. Mutu beton kelas I dinyatakan dengan Bo. b. Beton Kelas II Beton kelas II adalah beton untuk pekerjaan struktural secara umum. Pelaksanaannya memerlukan keahlian yang cukup dan harus dilakukan di bawah pimpinan tenaga-tenaga ahli. Beton kelas II dibagi dalam mutu-mutu standar: B1, K125, K175, dan K225. Pada mutu B1¬, pengawasan mutu hanya dibatasi pada pengawasan sedang terhadap mutu bahan-bahan, Sedangkan terhadap kekuatan tekan tidak disyaratkan pemeriksaan. Pada mutu K125, K175, dan K225 pengawasan mutu terdiri dari pengawsan yang ketat terhadap mutu bahan-bahan dengan keharusan untuk memeriksa kekuatan tekan beton secara continue. c. Beton Kelas III Beton kelas III adalah beton untuk pekerjaan-pekerjaan struktural dimana dipakai mutu beton dengan kekuatan tekan karakteristik yang lebih tinggi dari 225 kg/cm2. Pelaksanaannya memerlukan keahlian khusus dan harus dilakukan di bawah pimpinan tenaga-tenaga ahli. Disyaratkan adanya laboratorium beton dengan peralatan yang lengkap yang dilayani oleh tenaga-tenaga ahli yang dapat melakukan pengawasan mutu beton secara continue. Mutu beton kelas III dinyatakan dengan huruf K dengan angka di belakangnya yang menyatakan karakteristik beton yang bersangkutan (Teknologi Bahan 3, 1983: 8). Sesuai dengan tingkat mutu beton yang hendak dicapai, perbandingan campuran bahan susun harus ditentukan agar beton yang dihasilkan memberikan: 1) kelecakan dan konsistensi yang memungkinkan pengerjaan beton (penuangan, perataan, pemadatan) dengan mudah ke dalam acuan dan sekitar tulangan baja tanpa menimbulkan kemungkinan terjadinya segregasi atau pemisahan agregat dan bleeding air; 2) ketahanan terhadap kondisi lingkungan khusus (kedap air, korosif, dan lain-lain); 3) memenuhi uji kuat yang hendak dicapai (I. Dipohusodo, 1996: 6). 4. Sifat Pengerjaan Beton Sifat pengerjaan beton belum didefiinisikan secara tepat. Untuk tujuan-tujuan praktik, pengertiannya memudahkan kita dalam mengolah beton sejak masih berada dalam pengadukan beton sampai selesai dipadatkan. Tiga karakteristik utama dari sifat pengerjaan beton adalah: kekentalannya, kemudahan mengalirnya (bergeraknya), dan kemudahan dipadatkannya. Kekentalan atau konsistensi beton merupakan suatu ukuran untuk menunjukkan keadaan basah atau cairnya beton yang bersangkutan. Kemudahan bergerak atau mobilitas menyatakan mudah atau sukarnya campuran beton mengalir ke dalam acuan atau cetakan serta mengisinya sampai penuh. Kemudahan dipadatkan atau compactibility menunjukkan mudah atau sukarnya suatu campuran beton itu dipadatkan seluruhnya sehingga udara yang tersekap di dalamnya dapat dikeluarkan. Sehubungan dengan itu, maka sifat pengerjaan yang disyaratkan bagi suatu campuran beton tidak saja tergantung pada karakteristik dan perbandingan-perbandingan bahan-bahan campurannya, akan tetapi juga pada: a. cara-cara pengangkutan dan pemadatannya; b. ukuran, bentuk serta kekerasan permukaan acuan atau cetakan; c. jumlah serta jarak antara tulangan-tulangan (Teknologi Bahan 3, 1983: 13). 5. Pengecoran Beton Pengecoran beton dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan timbulnya segregasi dari agregat kasar terhadap mortar beton yang cenderung akan bertambah dengan bertambahnya nilai slump serta bertambah besarnya ukuran agregat kasar dalam suatu adonan beton (Teknologi Bahan 3, 1983: 154). Apabila ada kecenderungan yang nyata bahwa butiran-butiran kasar dan halus dari suatu campuran beton hendak memisahkan diri, maka yang dihadapi ialah segregasi. Pada umumnya makin encer suatu campuran beton, maka makin besar kecenderungan untuk terjadi segregasi pada beton yang bersangkutan. Segregasi dipengaruhi oleh luas jenis bahan-bahan padat total termasuk semen dan jumlah mortar yang terdapat dalam adukan (Teknologi Bahan 3, 1983: 22). Segregasi tidak dapat diperbaiki oleh pengerjaan-pengerjaan selanjutnya, sehingga apabila tidak dilakukan pencegahan-pencegahan, besar kemungkinan akan terjadi di tempat-tempat penuangan beton. Bilamana terjadi gumpalan-gumpalan agregat kasar, maka gumpalan-gumpalan tersebut harus disebarkan dan kemudian dibentuk menjadi beton yang homogen. Selanjutnya harus diambil langkah-langkah agar hal-hal yang telah terjadi itu tidak terulang (Teknologi Bahan 3, 1983: 154-155). Dalam semua jenis pekerjaan beton tidak boleh dilakukan pengerjaan-pengerjaan yang menyebabkan mengalirnya beton tersebut dalam arah yang horizontal atau miring dalam acuannya, dan pada siar-siar konstruksi harus dihindarkan terbentuknya lapisan-lapisan beton yang miring (Teknologi Bahan 3, 1983: 155). 6. Perawatan Beton Perawatan merupakan suatu cara yang telah diterima dengan baik untuk melancarkan pengerasan beton dalam keadaan basah dan suhu yang menguntungkan untuk perkembangan serta pengikatan yang tepat dari semen sebagai bahan campurannya (Teknologi Bahan 3, 1983: 174). Proses kimia dari pengerasan berlangsung dengan kecepatan yang makin berkurang untuk jangka waktu yang lama sekali dan tidak ditentukan, selama masih tetap ada air dan suhu menguntungkan. Perawatan yang segera dan kemudian berkembang secara efektif untuk suatu jangka waktu yang dapat dilaksanakan merupakan suatu langkah penting bagi perkembangan yang cukup secara merata dari suatu bahan pengikat (perekat) seperti semen (Teknologi Bahan 3, 1983: 174). Cara-cara perawatan beton terdiri dari salah satu atau beberapa prosedur berikut, yang efektifitasnya dapat diperkirakan dengan melakukan pengujian-pengujian kekuatan, kelembaban relatif atau pengukur-pengukur warna dan kehilangan air oleh beton dalam waktu tertentu. Adapun cara-cara perawatan beton tersebut antara lain: a. mempertahankan acuan tetap melekat pada beton selama paling sedikit 5 hari sambil tetap membasahi acuan kayu; b. memperlambat penguapan dengan menggunakan alkohol aliphatik (umpama cetyl), melindungi terhadap sinar matahari langsung, melindungi terhadap tiupan angin dan menyemprot dengan kabut air; c. mengelilingi pelat beton dengan tanggul yang di dalamnya diisi air seperti sebuah kolam sedalam 50 mm setelah memperlambat penguapan atau perawatan dengan membran dalam cuaca panas untuk waktu tertentu, dan semen itu telah mencapai waktu pengikatan akhir; d. menutupi permukaan beton dengan bahan-bahan yang menahan air sehingga tetap berada dalam keadaan basah, misalnya karung goni bekas, jerami, lapisan pasir, dll; e. merendam produk-produk beton di dalam air, atau menyemprot permukaan beton yang tampak secara teratur dengan air, sehingga tetap berada dalam keadaan basah. Penyemprotan air dilaksanakan pada suhu yang tepat tanpa terjadinya ulangan-ulangan pembasahan dan pengeringan, sehingga tidak akan terjadi retak-retak pada permukaan beton akibat perubahan-perubahan suhu dan dimensi yang berlebih-lebihan (melampaui batas); f. menggunakan membran yang kedap air di atas permukaan beton, seperti lembaran-lembaran plastik dengan sambungan-sambungan yang kedap air atau bertumpang-tindih dan ujung-ujungnya diusahakan selalu tertindih pada permukaan beton yang bersangkutan; g. memulas permukaan beton yang terbuka dengan suatu bahan yang menghasilkan membran (lapisan tipis) dekat pada saat terjadinya pengikatan awal dari semen; h. merawat beton dengan uap atau merawat beton secara hydro-termal atau mengusahakan terjadinya proses hydrasi dalam keadaan adiabatik dalam cetakan-cetakan tertutup agar dicapai pengerasan yang dipercepat; i. mendinginkan beton yang dicor secara masif dengan cara-cara yang dapat menurunkan suhu akibat proses hydrasi yaitu dibawah 32o C (Teknologi Bahan 3, 1983: 175-176). 6. Manfaat Struktur Beton a. Keuntungan: 1) ekonomis. Merupakan pertimbangan yang sangat penting, meliputi: material, kemudahan dalam pelaksanaan, waktu untuk konstruksi, pemeliharaan struktur, daktilitas, dan sebagainya; 2) keserasian beton untuk memenuhi kepentingan struktur dan arsitektur. Beton dicor ketika masih cair dan menahan beban ketika telah mengeras. Hal ini sangat bermanfaat, karena dapat membuat berbagai bentuk; 3) tahan api (sekitar 1 hingga 3 jam tanpa bahan kedap api tambahan). Sementara kayu dan baja memerlukan bahan kedap api khusus untuk mencapai tingkat seperti ini; 4) rigiditas tinggi; 5) biaya pemeliharaan (maintenance) rendah; 6) penyediaan material mudah. b. Kerugian: 1) kekuatan tarik rendah (sekitar 10% dari kekuatan tekan), sehingga mudah retak. Meskipun mungkin tidak terlihat tetapi memungkinkan udara lembab masuk melalui retak itu, dan membuat baja tulangan berkarat; 2) memerlukan biaya untuk bekisting, perancah (untuk beton cor di tempat) yang tidak sedikit jumlahnya; 3) kekuatan per satuan berat atau satuan volume yang relatif rendah. Kekuatan beton berkisar antara 5 hingga 10% kekuatan baja meskipun berat jenis kira-kira 30% dari berat baja. Oleh karena itu, struktur beton membutuhkan berat yang lebih banyak. Alasan inilah yang menjadi dasar mengapa jembatan bentang panjang dibuat dengan struktur baja; 4) sifat yang tergantung waktu rangkak dan susut. ”Struktur beton berintensitas beban rendah akan menghasilkan deformasi dalam daerah elastisitas tetapi lambat laun deformasi ini akan bertambah menurut lamanya pembebanan mekipun kondisi beban tersebut konstan. Gejala ini disebut sebagai rangkak/creep” (L. Wigbout, 1997: 29). ” Pada waktu proses hidrasi berlangsung, beton melepaskan panas dan air, yang dapat diamati dengan naiknya suhu beton tersebut, yang menyebabkan terjadinya susut (shrinkage). Susut dapat menyebabkan retak bila tidak dikendalikan dengan baik” (L. Wigbout, 1997: 29). Beton dan baja memiliki ekspansi panas (thermal expansion) yang hampir sama, yaitu: Beton 5,5 x 10-6 /oF Baja 6 x 10-6 /oF. Beton mengalami rangkak jangka panjang dan susut, hal ini kurang menguntungkan (L. Wahyudi, 1997: 38). 7. Campuran Beton a. Semen Pada umumnya, semen untuk bahan bangunan adalah tipe semen Portland. Semen ini dibuat dengan cara menghaluskan silikat-silikat kalsium yang bersifat hidrolis dan dicampur dengan bahan gips. Beberapa tipe semen yang diproduksi di Indonesia, antara lain: 1) semen Tipe I, dapat dikatakan yang paling banyak dimanfaatkan untuk bangunan, dan tidak memerlukan persyaratan-persyaratan khusus bagaimana jenis lainnya; 2) semen Tipe II merupakan modifikasi semen tipe I dengan maksud untuk meningkatkan ketahanan terhadap sulfat dan menghasilkan panas hidrasi yang lebih rendah. Semen jenis ini terutama dimanfaatkan untuk bangunan yang terletak di daerah dengan tanah berkadar sulfat rendah. 3) semen Tipe III merupakan semen yang cepat mengeras. Beton yang dibuat dengan semen tipe III akan mengeras cukup cepat, dan kekuatan yang dicapainya dalam 24 jam akan sama dengan kekuatan beton dari semen biasa dalam 7 hari. Hanya sekitar 3 hari kekuatan tekannya setara dengan kekuatan tekan 28 hari beton dari semen biasa. 4) semen Tipe V terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap bahaya korosi akibat pengaruh air laut, air danau, air tambang, maupun pengaruh garam sulfat yang terdapat dalam air tanah. Semen tipe V ini memiliki daya resistansi terhadap sulfat yang lebih baik dibandingkan semen tipe II. 5) jenis semen lainnya yaitu semen portland-pozzolan, sering dipakai untuk konstruksi beton masif seperti dam atau bendungan karena menghasilkan panas hidrasi yang rendah, dan karena semen ini juga tahan terhadap sulfat, sering dimanfaatkan pula untuk konstruksi bangunan limbah (L. Wahyudi, 1997: 20-21). b. Agregat Dalam SNI T-15-1991-03 agregat didefenisikan sebagai material granular, misalnya pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak tungku besi yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat untuk membentuk beton semen hidrolik atau adukan. Berdasarkan ukurannya, agregat ini dapat dibedakan menjadi: 1) agregat halus diameter 0-5 mm disebut pasir, yang dapat dibedakan lagi menjadi: a) pasir halus: Ø 0-1 mm; b) pasir kasar: Ø 1-5 mm. 2) agregat kasar diameter ≥ 5 mm, biasanya berukuran antara 5 hingga 40 mm, disebut kerikil. Material ini merupakan hasil disintegrasi alami batuan atau hasil dari industri pemecah batu (L. Wahyudi, 1997: 22). Kekuatan beton dipengaruhi oleh kualitas agregat, proporsi campuran, serta kebersihan air dan agregatnya. Oleh karena itu, selain harus memiliki kekuatan dan daya tahan yang baik, butir disyaratkan harus bersih dari lumpur atau meterial organis lainnya yang dapat mengurangi kekuatan beton. Diameter lumpur atau meterial organis ini adalah kurang dari 0,063 mm. Bila banyaknya lumpur atau material organis yang dikandung dalam agregat lebih dari 1% berat kering, agregat tersebut harus dicuci (L. Wahyudi, 1997: 22). c. Air Proporsi air yang sedikit akan memberikan kekuatan yang tinggi pada beton, tetapi kelemasan beton atau daya kerjanya akan berkurang. Sedangkan proporsi air yang agak besar akan memberikan kemudahan pada waktu pelaksanan pengecoran, tetapi kekuatan hancur beton jadi rendah. Proporsi air ini dinyatakan dalam rasio air-semen (water-cement ratio), yaitu angka yang menyatakan perbandingan antara berat air (kg) dibagi dengan berat semen (kg) dalam adukan beton tersebut (L. Wahyudi, 1997: 22). Perlu diketahui bahwa air untuk campuran beton harus tidak mengandung minyak, larutan asam, garam alkali, material organik, maupun bahan-bahan lain yang dapat mengurangi kekuatan beton (lihat PBI-71 Pasal 3.6). Selain faktor tersebut di atas, kepadatan, panas, dan kelembaban juga dapat mempengaruhi kekuatan beton. Untuk itu, sebaiknya menggunakan alat penggetar adukan (vibrator) untuk memperoleh kepadatan beton yang sempurna, terutama untuk beton dengan rasio air-semen yang rendah. Menjaga kelembaban dan panas agar tetap konstan sewaktu proses hidrasi berlangsung, misalnya dengan menutupi permukaan beton dengan karung-karung basah atau menyiramkan air minuman satu kali dalam sehari, merupakan hal yang sangat penting (L. Wahyudi, 1997: 22).
Bona Pasogit
06:32
Admin
Bandung Indonesia
0 Comment for "bekisting, tulangan dan beton"